Jumat, Mei 24, 2024
BerandaTeknoKamu Wajib Tahu! Inilah Dampak Negatif Sosial Media Secara Berlebihan

Kamu Wajib Tahu! Inilah Dampak Negatif Sosial Media Secara Berlebihan

DESTINASI BANDUNG-Derasnya perkembangan teknologi informasi di berbagai belahan dunia menciptakan peradaban sosial baru dalam kehidupan manusia. Kemudahan yang ditawarkan dalam membangun komunikasi tanpa memandang jarak dan waktu membuat setiap pengguna larut dalam pusaran arus. Laju perkembangan teknologi informasi turut diramaikan dengan kemunculan berbagai media sosial.

Teknologi media sosial mengambil bentuk-bentuk, termasuk majalah, forum internet, blog sosial, microblogging, wiki, podcast, foto stsu gambar,video, rating, dsn bookmark sosial. Dengan menerapkan satu set teori di bidang risegt media (kehadiran, kekayaan media) dan proses sosial (self presentasi, self disclosure) kaplan dan Haenlen menciptakan skema klasifikasi untuk berbagai jenis media sosial dalam artikel mereka ‘Bisnis Horizon’ yang diterbitkan pada tahun 2010.

Menurutnya ada enam jenis media sosial antara lain:

1. Proyek kolaborasi
Situs ini memungkinkan pengguna untuk dapat mengubah, menambah, atau menghapus konten sedikit-konten yang tersedia di website. Contoh Wikipedia.

2. Blog dan microblog
Pengguna bebas untuk mengekspresikan sesuatu dalam blog ini seperti ventilasi atau mengkritik kebijakan pemerintah. Contoh twitter.

3. Konten
Pengguna situs ini adalah pengguna mengklik setiap konten saham-konten media seperti video, facebook, gambar, dll. Contoh situs jejaring sosial seperti You Tube.

4. Situs jejaring sosial
Situs ini adalah aplikasi yang memungkinkan pengguna untuk terhubung dengan membuat informasi pribadi sehingga dapat terhubung dengan yang lain. Informasi pribadi ini bisa berupa foto atau gambar. Contoh seperti facebook.

5. Virtual Game World
Ini adalah sebuah dunia maya di mana lingkungan 3D merefleksikan dan pengguna bisa datang dalam bentuk yang diinginkan dan berinteraksi dengan orang lain baik di dunia nyata maupun untuk game online.

6. Virtual Social World
Adalah virtual dunia di mana pengguna merasa hidup di dunia maya, seperti ‘game virtual’, berinteraksi dengan orang lain. Namun dunia virtual lebih bebas dan lebih ke arah kehidupan seperti second life.

Tentunya keberadaan media-media ini selain memberikan pengaruh positif juga memberikan pengaruh negatif. Tercatat sejak era milenial jumlah pengguna aktif media sosial di Indonesia terus mengalami lonjakan hingga saat ini masuk dalam peringkat lima besar dunia.

Sekitar 40% populasi dunia menggunakan media sosial dan menurut sejumlah laporan seseorang, rata-rata menghabiskan waktu dua jam untuk membagikan, menyukai,dan menulis cuitan di media sosial. Artinya sekitar setengah juta cuitan dan foto Snapchat dibagikan setiap menit. Ketika media sosial memiliki peran besar dalam kehidupan kita, apakah kita dapat mengorbankan kesehatan dan kesejahteraan jiwa kita?

Jessica Brown dari BBC Future mengkaji penemuan sains bagi kehidupan manusia dengan sejumlah data dalam rangka literasi media bagi masyarakat.

Orang menggunakan media sosial untuk melampiaskan segalanya mulai dari layanan konsumen hingga politik, namun kelemahannya adalah seringkali unggahan kita menyeruapai stress yang tidak ada habisnya. Pada 2015, peneliti pada Pew Research Centre yang berbasis di Washington DC berupaya untuk mengetahui apakah media sosial lebih menyebabkan stres dan bukan menguranginya.

Dalam survey yang melibatkan 1.800 orang, perempuan disebutkan lebih mengalami stres dibanding laki-laki. Ditemukan Twitter menjadi penyumbang penting karena meningkatkan kesadaran mereka akan tekanan yang dialami orang lain.

Namun Twitter juga bertindak sebagai mekanisme pananggulangan dan semakin banyak perempuan menggunakannya, semakin berkurang stress mereka. Efek yang sama tidak ditemukan pada laki-laki, yang disebutkan peneliti bahwa lebih memiliki hubungan yang berjarak dengan media sosial. Secara keseluruhan peneliti menyimpulkan bahwa pengguna media sosial terkait dengan stress dengan tingkat yang lebih rendah.

Sementara sejumlah peneliti menemukan kaitan antara depresi dan penggunaan media sosial, berkembang penelitian mengenai bagaimana media sosial dapat benar-benar menjadi alat untuk maksud dan tujuan yang bagus.

Dua penelitian yang melibatkan lebih dari 700 siswa menemukan bahwa gejala depresi, seperti suasana hati yang rendah dan perasaan tidak berarti dan tanpa harapan, terkait dengan kualitas interaksi online. Para peneliti menemukan gejala depresi yang lebih tinggi di antara mereka yang dilaporkan memiliki lebih banyak interaksi negatif.

Sebuah studi serupa dilakukan 2016 melibatkan 1.700 orang menemukan resiko depresi dan kecemasan mencapai tiga kali lipat di antara orang-orang yang paling banyak menggunakan platform media sosial. Penyebabnya, perkiraan mereka, termasuk perundungan siber, memiliki pandangan terdistorsi mengenai kehidupan orang lain, dan merasa menghabiskan waktu di media sosial merupakan sebuah pemborosan.

Bagaimanapun, seperti dieksplorasi BBC Future pada bulan ini, ara sintis juga mengkaji bagaimana media sosial dapat digunakan untuk mendiagnosa depresi, yang dapat membantu orang untuk mendapatkan perawatan dini. Para peneliti Microsoft mensurvey 476 orang dan menganalisa profil media sosialnya untuk mencari kata-kata depresif, gaya bicara, hubungan dan emosi.

Mereka kemudian mengembangkan pengklasifikasian yang secara akurat dapat memprediksi depresi sebelum menimbulkan gejala pada tujuh dari sepuluh kasus. Para peneliti dari Harvard dan Vermont juga meneliti 166 foto orang di Instagram untuk menciptakan perangkat serupa dan menghasilkan tingkat keberhasilan yang sama.

Seiring perkembangan waktu dan pemanfaatan teknologi ini beberapa aspek kehidupan masyarakat mulai mengalami pergeseran seperti sosial, politik, ekonomi, pendidikan, baik secara individu maupun kelompok dan golongan.

Sekilas media sosial hadir memberikan manfaat dan kemudahan yang instan bagi masyarakat. Cukup dengan gadged dan internet dunia serasa di ujung jari. Oleh sebab itu mengetahui sisi negatif media sosial sangatlah penting. Pengetahuan tentang hal ini secara tidak langsung akan melindungi pengguna dalam bermedia sosial dengan lebih bijak.

Dulu manusia menghabiskan waktu mereka di malam hari dalam kegelapan. Namun kini kita dikelilingi pencahayaan buatan hampir sepanjang 24 jam. Para peneliti menemukan bahawa cahaya buatan ini dapat menghambat produksi hormone melatonin pada tubuh yang memudahkan untuk tidur. Cahaya biru yang dipancarkan oleh telepon pintar dan laptop dianggap sebagai biang keladinya. Dengan kata lain, jika anda berbaring di atas bantal pada malam hari dengan mengakses media sosial maka tidur anda akan gelisah.

Peneliti dari Universitas Pittsburgh bertanya pada 1.700 orang dengan rentang usia 18-30 tahun mengenai kebiasaan menggunakan media sosial dan tidur mereka. Ditemukan sebuah kaitan gangguan tidur dan menyimpulkan cahaya biru merupakan salah satu penyebabnya. Seberapa sering mereka login dan bukan berapa waktu yang dihabiskan di situs media sosial, diperkirakan merupakan penyebab dari gangguan tidur yang menunjukkan sikap ‘pengecekan (media sosial) yang obsesif’, seperti dijelaskan oleh peneliti.

Pendapat dari sejumlah peneliti menyebutkan bahwa menulis cuitan di media sosial lebih sulit dicegah dibanding rokok dan alcohol. Meski begitu kecanduan media sosial tidak termasuk dalam diagnose manual untuk gangguan kesehatan mental.

Disebutkan, media sosial berubah lebih cepat dari yang dapat diikuti oleh para ilmuwan. Berbagai kelompok berupaya untuk melakukan studi perilaku kompulsif terkait penggunaannya. Sebagai contoh ilmuwan dari Belanda telah membuat skala mereka sendiri untuk mengidentifikasi kemungkinan kecanduan. Kuss dan Griffiths dari Universitas Nottingham Trent Inggris menganalisa 43 studi sebelumnya yang mengkaji masalah tersebut menyimpulkan bahwa kecanduan media sosial merupakan gangguan mental yang mungkin membutuhkan perawatan profesional.

Dalam sebuah penelitian lain sebuah studi mempublikasikan di Journal of Preventive Medicine Amerika mensurvey 7.000 orang berusia 19-32 tahun, menemukan bahwa mereka yang menghabiskan waktu lebih banyak di media sosial memiliki resiko dua kali lipat untuk mengalami keterkucilan sosial, yang meliputi rendahnya rasa sosial, kurang hubungan dengan sesame dan menjalani hubungan berarti.

Peneliti menyebutkan,menghabiskan lebih banyak waktu di media sosial dapat menggantikan interaksi tatap muka dan dapat membuat seseorang merasa terasing. Paparan terhadap gambaran yang singkat an ideal tentang kehidupan rekan sebaya memunculkan perasaan iri hati dan keyakinan yang keliru bahwa orang lain lebih bahagia dan memiliki kehidupan lebih sukses, memicu peningkatan perasaan terkucil di media sosial.

Kini mata kita tidak lagi asing melihat orang di luar sana asik dengan gadget. Mereka bahkan tidak peduli dengan sekitar atas reaksi yang ditunjukkan ketika sedang asik menjelajah duania virtual. Entah tertawa, menangis, marah, dan ekspresi-ekspresi lain yang ditampilkan seluruh anggota tubuh sebagai respon.

Para pengguna ini justru cenderung menginginkan dirinya menjadi pusat perhatian. Alih-alih ingin diperhatikan, tidak jarang mereka abai dengan kondisi lingkungan, sosial, budaya, bahkan diri sendiri. Inilah mengapa kita perlu ekstra hati-hati ketika menyelam di dunia virtual, terlebih remaja-remaja kita yang sejak lahir memang sudah dijejali media sosial. Keadaan ini terjadi tidak lepas dari kecenderungan generasi milenial pada saat kelahiran berbagai platform sosial media seakan lapar informasi dunia sehingga menjadi ketergantungan karena takjub dengan hal-hal yang selama ini tidak diketahui sebelum adanya sosial media.

Mereka takjub bisa berinteraksi dengan orang asing, mengenal budaya, bahasa, iklim, dan banyak lainnya. Ini hanya sekelumit contoh yang kemudian menjadi bibit kesibukan pengguna sosial media sehingga tanpa sadar lupa dengan waktu bahkan keadaan sekitar. Seiring berjalannya waktu tanpa disadari terjadi gangguan-gangguan kesehatan fisik dan mental.

Oleh sebab itu penting bagi kita untuk memanfaatkan sosial media tidak secara berlebihan meski kenyataan hari ini, sosial media telah menjadi kebutuhan sehari-hari terlebih sejak pandemi. Sebagian besar orang melakukan aktivitas dari rumah dengan mengandalkan sosial media dan internet sebagai penghubung dengan dunia luar. Entah untuk keperluan pekerjaan, pendidikan, bertukar kabar, pencarian informasi, maupun sekedar hiburan. Para peneliti bahkan menemukan adanya tingkat ketimpangan yang tinggi di Indonesia dan disorot di media sosial yang bisa menyebabkan kecemburuan dan kebencian. Orang akan cenderung menilai negatif ketika melihat bagaimana orang lain berekspresi dan hidup di media sosial.

Berikut dampak negatif penggunaan sosial media secara berlebihan:

1. Gangguan kesehatan fisik

Penggunaan terus-menerus secara berlebihan ini dapat memengaruhi syaraf-syaraf tubuh sehingga menyebabkan pertumbuhan tidak maksimal.

Gangguan pada mata dan penglihatan akibat paparan pencahayaan pada layar digital

Gangguan penglihatan karena kelainan refraksi yang tidak terkoreksi dengan baik.

gangguan tulang punggung karena postur yang salah

gangguan kepala atau headache akibat mata terlalu lelah dan terlalu lama terpapar radiasi layer.

Gangguan otot leher karena posisi yang tidak tepat atau berdiam di posisi yang sama dalam waktu yang lama

2. Gangguan kesehatan mental

Peningkatan resiko depresi, kecemasan, kesepian, menyakiti diri sendiri, bahkan pikiran untuk bunuh diri.

Expresi kehidupan cenderung flexing.

Cyber bullying

Selalu merasa kurang

FOMO (Fear Of Missing Out)

3. Gangguan komunikasi dunia nyata akibat terlalu di dunia virtual dan abai dengan dunia nyata.

4. Gangguan kualitas tidur karena efek kecanduan.

Meski jelas belum cukup bahan untuk menarik kesimpulan yang kuat, bagaimanapun bukti-bukti menunjuk pada satu arah, media sosial memengaruhi orang secara berbeda. Tergantung bagaimana kondisi dan kepribadian pengguna sebelumnya. Di saat yang sama, bisa juga salah mengatakan bahwa media sosial secara universal merupakan sesuatu yang buruk, sebab jelas pula membawa manfaat baik bagi kehidupan. Maka untuk mencegah efek negatif media sosial kita harus memahami etika komunikasi di internet dan membatasi arus informasi negatif. Manajemen komunikasi dalam media sosial harus diatur dengan baik dan mampu mengontrol diri.

Penulis:
Nurul Asiah, S.Sos.
Pustakawan, UNPAD

RELATED ARTICLES

Most Popular